• Xbox Game Pass memberikan rasio harga-ke-nilai yang relatif luar biasa menggiurkan.
  • Fokus ke pasar PC dan mobile bisa membuat Xbox kembali bersaing seimbang dengan PlayStation.
  • Namun keengganan Microsoft berekspansi serius ke Asia-Pasifik bisa menjadi kelemahan terbesar mereka.

Xbox Game Pass header

Xbox Game Pass bisa dibilang merupakan ‘perwujudan nyata’ dari strategi Xbox Play Anywhere. Serba digital, lintas perangkat, dan semua ditenagai ekosistem milik Microsoft. Akan tetapi meski prospeknya terbilang menggiurkan, pribadi saya berpendapat kalau strategi yang diluncurkan oleh Microsoft masih tidak efektif. Terutama saat mereka harus kembali berhadapan dengan PlayStation 5, console terbaru Sony, di generasi kesembilan ini.

Penjelasan Singkat Xbox Game Pass

Xbox Game Pass header

Xbox Game Pass merupakan layanan berlangganan dari Microsoft yang memberikan akses pada 300 lebih judul gim; mulai dari gim-gim eksklusif Microsoft macam Halo, Forza, Age of Empires, dan Gears of War sampai keluaran pihak ketiga seperti Tales of Vesperia, Company of Heroes, atau judul-judul independen seperti Nights in the Woods. Belum lagi belakangan ini Microsoft sudah bekerjasama dengan Electronic Arts, Ubisoft, bahkan mengakuisisi ZeniMax Media (pemilik Bethesda Softwork) untuk memperluas portofolio gim mereka.

Kedengarannya mungkin tidak begitu hebat (kecuali akuisisi ZeniMax, mungkin), terdengar seperti layanan berlangganan lainnya saja. Sampai kamu sadar kalau Xbox Game Pass bisa dimainkan di tiga perangkat berbeda: console, PC, dan seluler (mobile). Terdapat tiga tingkat langganan Xbox Game Pass:

  • Xbox Game Pass, untuk pengguna Xbox One dan/atau Xbox Series X. Dibanderol US$10 per bulan (Rp147.065, 23 Oktober 2020);
  • Xbox Game Pass for PC, untuk PC saja. Dibanderol US$10 per bulan;
  • dan Xbox Game Pass Ultimate, untuk console dan PC, memungkinkan pelanggan streaming gim ke HP dan tablet lewat layanan Project xCloud, serta dilengkapi juga dengan langganan Xbox LIVE Gold supaya pengguna console bisa bermain daring (online). Dibanderol US$15 per bulan (Rp220.598, 23 Oktober 2020).

Kenapa Saya Bilang Microsoft Tidak Memanfaatkannya?

Xbox Game Pass Asia header

Xbox 360 sempat membuat Microsoft berada di atas angin dengan penjualan seumur hidup sebanyak 84 juta unit. Bersaing ketat dengan PS3 yang terjual sebanyak 87,4 juta unit di perang generasi ketujuh. Mudah diasumsikan kesuksesan penjualan Xbox 360 di seluruh dunia tidak hanya didorong oleh kegagalan PS3 (baik dari segi harga maupun kualitas di awal rilis) tetapi juga berkat betapa cepatnya para pembajak membobol mesin tersebut.

Sementara di generasi kedelapan, Microsoft secara tidak langsung menyatakan “mundur” dengan menyembunyikan penjualan Xbox One. Diperkirakan mereka juga hanya mampu menjual 50 juta unit, dibanding Sony yang sukses meraup pendapatan dari 108,9 juta unit PS4. Tapi seperti yang pernah Gabe Newell dari Valve bilang, “sediakan layanan yang lebih baik [dari pembajakan] untuk membuat pembajakan jadi bukan suatu masalah.” Dengan pola pikir itu Valve menantang salah satu ibu kota pembajakan dunia, Rusia, merilis Steam bersama dengan harga gim bersahabat, dan menang telak. Dan Xbox Game Pass merupakan jawabannya di generasi kesembilan ini. Namun masalahnya, ada satu persoalan sederhana yang menghambat ekspansi sistem berlangganan tersebut:

Menutup Sebelah Mata Terhadap Penetrasi PC dan Mobile di Pasar Asia

Mulai dari rilisnya PS1, brand PlayStation dalam sekejap menjadi top-of-mind ketika seseorang membahas gim. Saat kamu disuruh berhenti main gim, orang tua kerap bilang, “Ayo, matiin PS-nya!“. Dan dengan kesuksesan PS4 yang bahkan nyaris menyaingi PS2 (terjual sebanyak 155 juta unit), Sony boleh-boleh saja merasa jumawa di kancah console. Tapi Microsoft punya keunggulan besar di sisi ekosistem. Terdapat 1 miliar pengguna sistem operasi Windows 10 di seluruh dunia. Sementara pengguna perangkat seluler yang diperkirakan ada sebanyak 3,5 miliar oleh Statista masih menjadi zona bebas; Apple Arcade tidak terdengar gaungnya dan perkembangan PS Now juga biasa-biasa saja. Keduanya merupakan perangkat yang bisa dengan mudah disusupi oleh Game Pass.

Akan tetapi dukungan resmi brand Xbox terhadap wilayah non-Eropa Barat dan Amerika masih minim. Total, Xbox hanya mendukung 42 negara di seluruh dunia. Dan dari seluruh negara tersebut hanya enam negara saja — Hong Kong, India, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan — yang termasuk Asia. Apalagi mengingat pada dasarnya memang console Xbox sendiri terkesan enggan untuk ekspansi ke Asia.

Di StopCAST Episode 8, kami sempat membahas kalau ada “upaya” untuk merangkul konsumen Asia; setidaknya Jepang. Di era Xbox, mereka bekerjasama dengan SEGA setelah Dreamcast tewas prematur. Pada era Xbox 360, mereka mendapat sejumlah judul eksklusif dari Bandai Namco. Memasuki Xbox One, mereka kembali berjabat tangan dengan SEGA dan sekaligus membawa Phantasy Star Online 2 ke luar Jepang. Namun upaya-upaya tersebut tidak memberi dampak jangka panjang dan terkesan bak basa-basi saja, hanya karena Jepang dipandang sebagai surganya pasar gim. Memang, tidak bisa dipungkiri, pengaruh industri gim Jepang dan visual anime masih tertanam dalam hingga hari ini tapi pasar juga sudah bergesar dan melebar.

Pasar Gaming Global 2020. Sumber: Newzoo.
Pasar Gaming Global 2020. Sumber: Newzoo.

Seperti yang sudah sering saya bicarakan, Asia — bukan cuma Jepang saja — merupakan pasar gim terbesar saat ini. Menurut laporan Newzoo, mereka memperkirakan Asia-Pasifik mencapai 49% pasar gim dunia. Menghasilkan pendapatan US$78,4 miliar dari total US$159,3 miliar. Amerika Utara (AS dan Kanada) hanya 25% dengan pendapatan US$40 miliar. Dari segi pasar perangkat gim global pun 40% dikuasai seluler, 21%-nya PC, dan console terapit dengan angka 28%. Game Pass memberikan Microsoft jalan untuk merebut sebagian besar dari 40% dan 21% tersebut. Tidak lagi harus terpaku di 28%.

Cuma, kembali mengulang, Xbox merupakan brand yang sangat Anglo-sentris. Di luar 42 negara yang mendapat dukungan resmi, kamu tidak bisa berlangganan Xbox Game Pass. Pakai kartu kredit yang bisa bertransaksi internasional pun tidak pengaruh lantaran IP negara yang tidak didukung diblokir langsung oleh situs Xbox. Satu-satunya cara adalah membayar langganan lewat Xbox One dengan akun AS yang entah kenapa tidak memblokirnya. Padahal sebelum Steam resmi mendukung beragam mata uang saja kita sudah bisa beli dari sana. Selain itu lokalisasi/terjemahan di tampilan toko juga terkesan malas-malasan. Akses (dan pembayaran) mudah padahal bisa menjadi ujung tombak Microsoft memanfaatkan Game Pass mengalahkan dominasi PlayStation di luar Amerika Serikat.

Ditambah peluncuran sistem streaming gim Project xCloud juga lebih terbatas lagi. Walau terdapat enam negara Asia yang mendapat dukungan resmi Xbox, ketika xCloud meluncur perdana di tanggal 15 September kemarin, lima dari mereka kecuali Korea Selatan juga tidak kebagian (meski harus diakui adopsi 5G mungkin menjadi pertimbangan). Belum lagi dilaporkan belum ada konsistensi soal harga regional buat India dan Korea Selatan pula. US$15 bisa jadi terbilang murah bagi penghuni Amerika Serikat, tapi ketika dikonversi ke mata uang lain jelas nilainya akan berbeda.

Alih-alih membuat Xbox Series S dan memperkeruh pesan “the most powerful Xbox” yang mereka gembar-gemborkan, saya pribadi merasa akan lebih efektif jika Microsoft mendorong Game Pass sebagai alternatif dari membeli console next-generation. Tidak ada Spider-Man atau Dark Souls Remaster memang, tapi bisa main FIFA 2022 atau Assassin’s Creed Valhalla di hape hanya dengan Rp200.000-an dan menghemat US$499/Rp7,3 juta? Proposisi yang menarik, kan?

Xbox Series X dan S

Bagaimana dengan Indonesia? Walau sulit mendapatkan data gratisan soal Indonesia sendiri, tapi beragam badan analis setuju kalau Asia Tenggara merupakan pasar dan industri gim yang berkembang pesat, dengan Indonesia menjadi salah satu negara paling signifikan. 69% penduduk Asia Tenggara pun merupakan gamer PC sementara 57% bermain di console.

Selain itu pengguna internet Indonesia — yang diperkirakan sudah mencapai 175,4 juta orang — juga sudah kian nyaman dengan beralih ke perangkat digital. Terbukti dari popularitas Spotify dan Netflix. Databoks memprediksi terdapat 907.000 pelanggan Netflix di Indonesia. Sementara meski tidak menyebutkan angka, direktur pelaksana Spotify untuk Asia Sunita Kaur menyebutkan kalau Indonesia merupakan pasar terbesar kedua setelah Filipina.

Jika Microsoft mampu melebarkan sayap ke wilayah-wilayah Asia lalu menetapkan harga regional sebaik di Steam untuk Xbox Game Pass, bukan tidak mungkin kalau gamer Asia akan kembali ke pangkuan Xbox seperti di masa jaya Xbox 360 silam. Sekarang pertanyaannya cuma satu: apakah Xbox sudah puas hanya bermain di kandang sendiri?

https://i1.wp.com/stoplayingame.com/wp-content/uploads/2020/10/gamepass-05.jpg?fit=500%2C500&ssl=1https://i1.wp.com/stoplayingame.com/wp-content/uploads/2020/10/gamepass-05.jpg?resize=150%2C150&ssl=1Unit076EditorialMicrosoftMobilePCGame Pass,Xbox Series XXbox Game Pass memberikan rasio harga-ke-nilai yang relatif luar biasa menggiurkan. Fokus ke pasar PC dan mobile bisa membuat Xbox kembali bersaing seimbang dengan PlayStation. Namun keengganan Microsoft berekspansi serius ke Asia-Pasifik bisa menjadi kelemahan terbesar mereka. Xbox Game Pass bisa dibilang merupakan 'perwujudan nyata' dari strategi Xbox Play...and get a life!