Perang console generasi baru tidak terjadi di media berita, antarperusahaan; melainkan terjadi di rumah kita masing-masing.

  • Makin canggih teknologi gim dan platform, makin besar pula ukuran instalasi mereka.
  • Attention economy‘ berperan besar dalam Perang Generasi Console Baru.
  • Tak lagi menabuh genderang Platform War, pengembang console gim melebarkan sayap untuk menciptakan ekosistem dan menguasai ruang virtual — serta perhatian — konsumen.

More Space, More Problem

Perang Console Generasi Baru

Melewati pertengahan tahun 2000-belasan lalu dan saat akhirnya saya memiliki gaming PC mumpuni, ada satu hal menyebalkan yang saya kerap rasakan — dan kian diperkuat belakangan ini: ukuran gim yang terus-terusan membludak tanpa henti.

Sampai akhirnya tanggal 23 Februari 2020 kemarin saya iseng mencoba memetakan gim-gim berukuran terbesar untuk PS4. Hasilnya? Ukuran 100GB sudah mulai terbilang ‘lazim’ sejak 2018. Begitu pula di PC; Final Fantasy XV 148GB, Destiny 2: Shadowkeep 165GB, Gears of War 4 112.3GB (yang bahkan sempat eror dan meminta pengguna mengunduh patch sebesar 248GB).

Ukuran Gim PS4
Sejujurnya, grafik agak membingungkan karena ukuran unduh dan instalasi tercampur (lantaran nggak punya data primer/PS4 sendiri)

Memang sih sekarang Rp700.000 sudah bisa dapat HDD 1TB, tapi apa iya harus langsung penuh sama 10 gim juga? Belum lagi Xbox Series X dan PS5 dipastikan sudah dilengkapi SSD 1TB saat rilis nanti. Banyak ruang bagi developer buat bereksperimen teknologi tapi pasti juga aset makin membesar pula, kan?

Sentimen serupa sudah dibahas oleh Karol Severin dari badan analisis MIDiA Research 2018 silam. Dia mengambil contoh bagaimana keinginan menyimpan gim di hard drive supaya bisa dimainkan kapan saja dapat menghalangi masuknya judul lain ke console miliknya.

“[…] antara GTA V dan RDR2, Rockstar kini menguasai lebih dari 42% ruang hard drive PS4 Slim-ku. EA (FIFA 19 dan Battlefield 4) mengambil 27% sisanya […]”

“Saya ingin sekali mencoba Fallout 76 (Bethesda), yang akan memakan 12% ruang lagi, dan saya ingin tetap menyimpan judul-judul ringan lainnya (Rocket League, Fortnite, War Thunder),”

“yang akan menyisakan ruang sekitar 50GB, mungkin mampu menampung satu judul besar […]”

“Maka, saya terpaksa meninggalkan keinginan mencoba Bethesda (Elder Scrolls), Activision (COD), dan Ubisoft (Far Cry dan Assassin’s Creed).”

Mengingat ukuran instalasi COD: Black Ops 4 mencapai 55GB, The Elder Scrolls Online 68GB (di PC per Maret 2018) dan Assassin’s Creed: Oddysey 49GB, kemungkinan besar Severin hanya bisa menyelipkan Far Cry 5 (34GB) ke PS4-nya dari daftar barusan.

“Dalam kata lain, sebuah unduhan menghasilkan redistribusi jatah penerbit bagi hard drive saya, yang dapat diubah menjadi redistribusi engagement serta pengeluaran.”

Berpindah/menetapnya engagement dan uang dari satu judul ke judul lain bukan pernyataan berlebihan — dengan maraknya DLC berbayar atau microtransaction baik dalam judul gratisan (free to play) maupun premium, penerbit yang sukses merebut lebih banyak hard drive otomatis dapat meraup lebih banyak pendapatan pula; yang juga menjadi insentif untuk terus membiarkan gim mereka hidup.

Konsep ini bisa dibilang bahkan terkait erat dengan tren MMO/game as a service, judul gim yang viral dan populer akan mampu menjaga userbase dan pada akhirnya mengonversi loyalitas tersebut menjadi pendapatan jangka panjang bagi pihak pengembang. Ide yang menjembatani kita ke poin kedua:

Console War? More Like, Attention Who- War

Perang Console Generasi Baru

Sejujurnya saya kurang suka memakai buzzword, tapi istilah ini rasanya mampu menjelaskan maksud saya lebih cepat jadi apa boleh buat.

Dengan terus bertambahnya konten (video game, di kasus ini) yang mudah diakses secara pesat, attention/perhatian kita menjadi satu-satunya filter yang membatasi konsumsi konten-konten tersebut. Maka, teori attention economy memperlakukan ‘perhatian’ kita sebagai suatu komoditas; sumber daya terbatas yang diperebutkan banyak pihak. Sekali lagi, dalam kasus ini, oleh (pengembang) video game.

Jelas teori ini bukan hal baru mengingat sejak dulu pengiklan selalu berusaha menarik minat/perhatian kita melalui papan reklame raksasa di tengah jalan, belasan iklan di tengah acara TV favorit, gambar berwarna di halaman koran dan majalah, dan beragam invasi alam bawah sadar lainnya.

Kamu mungkin langsung menyela, “Tinggal tambah hard disk atau install ulang aja kok repot?” Severin juga bilang kalau “hard drive eksternal” dan “instal ulang belakangan” merupakan dua solusi yang bisa kamu ambil.

“Namun,” tambahnya.

“keduanya menciptakan consumer effort/friction yang besar – salah satu kalimat paling mengerikan dalam attention economy”. Dalam kata lain, meski ada alternatif, bakal tetap ada halangan buat konsumen untuk benar-benar melakukannya dan akhirnya konten kehilangan perhatian. Bayangkan saja misalnya memori hard disk 1TB-mu tinggal sisa 30GB setelah dipenuhi gim-gim kesayangan tapi mendadak teman-temanmu ngajak instal ulang GTA V sebesar 91GB.

Bersih-bersih drive bisa saja, tapi makan waktu memilah-milah mana yang harus dihapus. Beli HDD baru juga bisa, tapi makan uang. Toh akhirnya ada ruang mengunduh 90GB pun juga tidak sebentar. Memikirkannya saja sudah malas, kan?

Nah…

…Masalah Modern Butuh Solusi Modern.

Perang Console Generasi Baru

Pernah memikirkan kenapa:

  1. Perusahaan penerbit gim besar punya launcher masing-masing?
  2. Belakangan konsep streaming dan layanan berlangganan (subscription) paket gim kembali populer hampir satu dekade setelah Gaikai dan OnLive?
  3. Atau upaya Microsoft menggabungkan brand Xbox untuk console dan PC — dan Sony juga menerapkan hal serupa?

Baik launcher, streaming dan penciptaan ekosistem (kalau belum catat, catat, sudah jadi buzzword populer) adalah bentuk perluasan sayap dalam upaya pengembang gim menguasai ruang virtual audiens mereka — termasuk mengarahkan ‘perhatian/attention‘ pada brand spesifik masing-masing macam Sony, Microsoft, Ubisoft, EA, atau siapapun (atau Google).

Soal launcher, sederhana saja. Selain merupakan upaya menciptakan sistem perlindungan pembajakan atau digital rights management dan maksimalisasi profit (menghilangkan potongan buat pihak ketiga macam Steam, GOG, dan lainnya), launcher juga merupakan cara membuat perhatian kita tertuju pada perusahaan tertentu. Mau main The Sims 4 buatan EA? Ya kamu harus punya launcher Origin milik EA. COD atau Diablo milik Activision-Blizzard? Jangan lupa pakai Battle.net punya Activision-Blizzard.

Meledaknya Netflix dan Spotify jelas memengaruhi pengembangan sistem streaming dan subscription gim (walau tampaknya Microsoft sendiri sebenarnya sudah mengantisipasi pergeseran besar-besaran ke digital sejak peluncuran Xbox One yang penuh bencana). Terbentuknya budaya binge-watching dari mudah dan cepatnya akses ke berbagai konten mungkin mendorong pengembang gim untuk ikut menggaet perhatian lewat entry point murah-meriah serupa; melihat Xbox Game Pass sebagai contoh kasus.

Saat artikel ini ditulis Xbox Game Pass total menawarkan 398 judul berbeda dari gim sepopuler Halo dan NBA2K20 sampai Yakuza 0 dan judul indie macam pikuniku. Biayanya? US$14.99 per bulan buat Ultimate (console + PC), US$4.99 per bulan buat PC saja, dan US$9.99 per bulan buat console — kamu bahkan bisa mencari promo yang memangkas biaya langganan jadi US$1 selama 3 bulan. Mengingat teman saya sampai rela meminjam Xbox One punya teman saya yang lain demi mendapat promo itu, subscription murah-meriah tampaknya bisa menjadi salah satu cara dalam manajemen attention economy yang menggiurkan.

Walau sisi streaming sendiri belum berjalan lancar (GeForce Now menuai kontroversi di kalangan developer, cakupan Project xCloud masih terbatas, PS Now cukup menarik karena memberi alternatif instalasi tapi nggak banyak yang bahas, Stadia… Google being Google), tapi jelas layanan ini bakal melompati kebutuhan ruang hard disk juga kemampuan perangkat keras — jika internet kencang serta dukungan pengembang sendiri sudah mencapai banyak daerah *uhuk*termasuk Indonesia*uhuk*.

Console War Xbox Game Pass

Sementara itu di sisi lain gencarnya Microsoft merilis game Xbox di PC dan eksperimen Sony membawa Horizon Zero Down ke Steam merupakan cara agar userbase lama tidak melupakan mereka meski sedang berada di platform lain dan userbase baru jadi kian akrab dengan nama mereka — alias semua perhatian terus mengarah ke produk Sony/Microsoft.

Bahkan dinosaurus sekelas Nintendo juga tidak ketinggalan. Perusahaan mainan berbasis di Kyoto, Jepang, tersebut dulu dinilai sebagai pihak yang luar biasa bandel ketika harus berhubungan dengan platform lain. Akan tetapi kini mereka berani memperkuat branding produk-produk mereka lewat adaptasi platform perangkat seluler/mobile yang lebih terjangkau oleh anak-anak dan konten ramah semua umur seperti Pokemon Go dan Mario Kart Tour. Di saat yang sama mereka juga menarget konsumen gacha yang dinilai ‘ramah pengeluaran’ melalui Fire Emblem Heroes, Dragalia Lost, dan Pokemon Masters.

Begitu pula maraknya dukungan crossplatform bagi beragam gim belakangan. Bahkan Minecraft dan Fortnite bisa antar-PC, console, dan mobile. Dengan mendukung fitur crossplatform kurang-lebih produsen console sebenarnya mengatakan hal seperti ini, “Cuma karena temanmu main di PS4 bukan berarti kamu harus punya PS4 juga, loh”. Sangat menguntungkan konsumen tapi di saat yang sama juga merupakan upaya terselubung untuk mengunci platform pilihanmu.

Di titik ini prospek memboyong massa lewat Console War seheboh Nintendo vs SEGA atau PlayStation 4 vs Xbox One sudah tidak menarik lagi di mata pengembang gim. Dengan melayani konsumen (dan tidak mengadu domba mereka) kamu akan menciptakan loyalitas, yang bisa dikonversi menjadi keuntungan berjangka panjang.

https://i1.wp.com/stoplayingame.com/wp-content/uploads/2020/04/consolewar-06.jpg?fit=600%2C600&ssl=1https://i1.wp.com/stoplayingame.com/wp-content/uploads/2020/04/consolewar-06.jpg?resize=150%2C150&ssl=1Unit076EditorialPS5,Xbox Series XPerang console generasi baru tidak terjadi di media berita, antarperusahaan; melainkan terjadi di rumah kita masing-masing. Makin canggih teknologi gim dan platform, makin besar pula ukuran instalasi mereka. 'Attention economy' berperan besar dalam Perang Generasi Console Baru. Tak lagi menabuh genderang Platform War, pengembang console gim melebarkan sayap untuk menciptakan ekosistem dan...and get a life!