Pada ajang Electronic Entertainment Expo (E3) 2016 kemarin, bisa dibilang Microsoft dan divisi Xbox berhasil menarik perhatian massa dengan memamerkan cuplikan dua senjata rahasianya, Project Scorpio serta fitur cross-everything antara Xbox One dan Windows 10 yang diberi nama Xbox Play Anywhere.

Media pun lebih memilih membicarakan dan berspekulasi tentang Project Scorpio. Tidak heran memang, teaser yang samar-samar dan persaingannya dengan Playstation Neo jelas lebih memancing perhatian. Apakah akan memakai graphic card generasi baru, apakah resolusinya mendukung 4k dan bukan hanya upscale, apakah ukurannya bisa lebih kecil, apakah akan diberi nama Xbox Two, dan lain-lain. Tapi daripada berspekulasi mengenai Project Scorpio, saya lebih tertarik membahas Xbox Play Anywhere.

Sesuai namanya, Xbox Play Anywhere memungkinkan kamu untuk memainkan game-game ekslusif Xbox One di mana pun kamu berada — dengan catatan memakai komputer dengan sistem operasi Windows 10. Jadi fitur-fitur yang berembel cross-platform (antar-perangkat) mulai dari cross-platform play, cross-platform save, dan cross-platform buy, semua dijanjikan akan berfungsi untuk semua judul yang mendukung fitur Xbox Play Anywhere.

Fungsionalitas ini memang terdengar sangat menggiurkan, terutama bagi kalangan pemain game garis keras yang masih ragu untuk berpindah ke Windows 10. Tidak perlu keluar uang lagi untuk membeli Xbox One untuk menikmati game eksklusif konsol tersebut, tinggal merelakan diri untuk merangkul sistem operasi terbaru Microsoft yang kontroversial itu.

Bagi Microsoft sendiri, hal ini bukan saja merupakan perwujudan dari keseriusan mereka untuk menjalankan Universal Windows Platform sebagai sebuah ekosistem yang terintegrasi dan tersentralisasi (pada Windows 10), tetapi juga langkah lain dalam bersaing dengan Playstation milik Sony. Pembaruan-tengah-generasi Project Scorpio dan konsol tipis Xbox One S mungkin tidak akan berdampak banyak pada kesuksesan Playstation 4 yang terus meningkat dan telah menembus angka 40 juta unit pada Mei kemarin. Tapi dengan memanfaatkan integrasi Windows 10, Microsoft akan mampu mengusung setidaknya 53 juta pemain game yang bisa menjadi konsumen potensial untuk Windows Store, jika menghitung dari 125 juta pengguna aktif Steam dan 42,94 persennya menggunakan Windows 10. Tentunya data tersebut merupakan data yang sangat kasar, karena Valve belum mengeluarkan pernyataan baru mengenai jumlah penggunanya sejak Februari 2015 lalu. Melihat jumlah pengguna yang aktif bersamaan Steam telah melewati angka 12 juta selama setahun terakhir ini, tidak mengherankan jika jumlah konsumen potensial Windows Store juga akan terus naik. Langkah penggabungan pengguna inilah yang tidak akan bisa disaingi oleh Sony dan menjadi keunggulan utama Xbox selaku divisi gaming dari raksasa komputer Microsoft.

Namun saat mengadakan podcast dengan teman-teman saya dari grup sebelah (menit ke-25, cross-promotion nggak apa lah ya), saya jadi menyadari sesuatu yang menarik: Xbox Play Anywhere adalah strategi lain Microsoft untuk mengenalkan kembali visi mereka mengenai gaming yang serba digital, tapi dengan skala yang lebih kecil dan lamaran yang lebih menarik. Dua hal yang kami perkirakan dari pembicaraan tersebut adalah: Satu, harus beli digital. Dan dua, perlu langganan Xbox Live Gold untuk bisa menikmati fitur tersebut.

Patut diingat, podcast tersebut direkam hanya beberapa hari setelah E3 2016 usai, sebelum Microsoft secara gamblang menyatakan kalau Play Anywhere hanya berlaku untuk pembelian game digital. Ternyata salah satu dugaan kami terbukti benar. Coret satu dari daftar.

Dalam beberapa cara, langkah ini rasanya mengingatkan saya akan masa-masa awal penyingkapan dan peluncuran Xbox One, di mana Microsoft mencoba untuk memimpin masa depan gaming yang “serba digital”.

Menyegarkan Ingatan Mengenai Xbox One dan Always-On

Don Mattrick Xbox One DRM Always Online

Siapa yang bisa lupa? Microsoft mendapat beragam kritikan pedas pada ajang E3 2013 lalu, saat mereka mengumumkan bahwa kamera Kinect sudah terpasang dalam Xbox One, sehingga banyak yang beranggapan hal tersebut menambah biaya yang tidak perlu. Ditambah pengumuman konsol harus selalu terhubung dengan internet — minimal satu kali dalam 24 jam — semakin membuat orang-orang berang. Tidak semua orang ingin selalu terhubung dengan internet saat bermain game dan ada juga yang merasa bisa munculnya kemungkinan pelanggaran privasi melalui Kinect. Berbagai langkah yang mereka ambil untuk menjustifikasi keputusan itu pun malah berbalik menggigit mereka lebih keras lagi.

Don Mattrick, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Interactive Entertainment Microsoft, menanggapi masalah tersebut dengan merujuk Xbox 360 kepada orang-orang yang tidak memiliki akses internet dan menyamakan kondisi tersebut dengan seperti berada dalam kapal selam nuklir. Sebelumnya, mantan direktur kreatif Microsoft Studios Adam Orth, membawa isu hangat (yang masih rumor) tersebut ke media sosial Twitter,

Sorry, I don’t get the drama around having an ‘always on’ console. Every device now is ‘always on.’ That’s the world we live in. #dealwithit

Walau Orth telah mengklaim bahwa dia sedang bercanda dengan temannya, Manveer Heir, perancang game senior di BioWare, adu mulut dengan berbagai orang di ranah publik pun tidak terhindarkan. Dianggap komentarnya tidak mewakili pandangan Microsoft (dan mendapat berbagai ancaman), Orth pun keluar dari raksasa teknologi yang bermarkas di Redmond, Washington, Amerika Serikat tersebut.

Tidak membahas lebih dalam pun sudah terlihat, peluncuran Xbox One tampak seperti bencana besar. Tidak heran kalau mereka memutuskan menjilat ludah sendiri jauh lebih aman daripada menjadi keras kepala. Pemeriksaan daring sekali dalam 24 jam pun dihilangkan, Xbox One tanpa Kinect juga dirilis pada pertengahan 2014. Walau begitu, Microsoft masih berkomitmen akan visi mereka mengenai masa depan gaming yang serba digital. Terbukti dari janji-janji mereka yang masih melekat hingga saat ini.

Versi digital dan fisik yang rilis untuk Xbox One selalu tersedia dalam waktu yang bersamaan, sehingga bisa mendorong pengguna untuk lebih memilih versi digital karena harganya yang relatif lebih murah dan ketersediaannya yang instan. Kamu juga bisa melakukan instalasi melalui kepingan game yang dipinjam dari pihak lain tanpa perlu mengunduh melalui internet, cukup menarik mengingat game jaman sekarang ukurannya bisa mencapai puluhan gigabyte.

Fitur backward compatibility dengan game-game Xbox 360 juga tersedia secara praktis. Judul-judul digital yang kamu punya akan secara otomatis terdaftar dalam kolom “Ready to Install”. Namun, kamu juga bisa meng-install game lama dengan memasukkan kepingan game Xbox 360 ke dalam Xbox One; meskipun dengan cara ini, game harus selalu ada dalam konsol kalau kamu ingin memainkannya.

Janji akan fungsionalitas cloud server pun masih dipertahankan. Saat melakukan sign in menggunakan Gamertag-mu di Xbox One mana pun, semua pengaturan yang terikat dengan profilmu juga ikut terbawa. Jadi tidak hanya daftar game yang kamu punya saja, tetapi termasuk pengaturan dashboard dan sebagainya. Pihak Microsoft juga menjanjikan cloud server Azure ini akan membantu jalannya pemrosesan game, namun kita masih harus menunggu hingga Crackdown 3 dirilis untuk melihat apakah mereka menepati janji yang satu ini. Ataupun bantuan server akan memberikan dorongan yang berarti.

Dan tentunya termasuk strategi mereka yang terbaru, Xbox Play Anywhere.

All Digital, Masa Depan Gaming?

Xbox Play Anywhere

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, semua fitur cross-platform antara Xbox One dan Windows 10 untuk semua game yang mendukung layanan tersebut, ditandai dengan adanya logo gambar laptop/layar dan mesin konsol bertuliskan “Xbox Play Anywhere” (seperti featured image artikel ini yang terlihat dari halaman depan). Namun layanan ini hanya berlaku kalau kamu membeli game-nya secara digital, baik dari Windows Store, Xbox Store, ataupun melalui kunci digital apapun.

Sama sekali tidak mengherankan tentunya. Pola pikir Microsoft dalam merancang Xbox One sebagai konsol digital terlihat cukup transparan, baik karena sebagai bagian dari perusahaan teknologi global terbesar ke-23 mereka lebih visioner dibanding pesaingnya (dibandingkan dengan Playstation yang meniru sistem berlangganan dengan PS Plus-nya dan ekosistem daring Nintendo yang masih sering diolok-olok) dan bisa melihat kebutuhan pengguna yang semakin lama semakin menginginkan yang non-fisik, ataupun ingin melawan penjualan game-game bekas yang dianggap “merusak” industri game, tidak ada yang tahu. Tapi yang jelas, Xbox One salah jaman.

Rasanya agak geli kalau kita melihat ke belakang sekarang ini. Lewat tiga tahun setelah Xbox One rilis, nampaknya konsumen media — musik, film, game, dan bahkan berita — sudah semakin merangkul erat platform digital. Bicara anekdot, sering terlihat orang-orang di internet berkomentar sejenis, “Beli CD? Masih jaman?” (entah dengan maksud bercanda atau tidak). Dan fakta juga bicara sama.

Menurut laporan badan riset SuperData Research, disadur oleh CNBC, penjualan game konsol digital terus meningkat hingga naik 23 persen sejak April 2015, membuat Xbox dan Playstation memimpin pertumbuhan tahunan dalam penjualan digital secara global.

Pendapat yang sama pun juga digaungi oleh Direktur Senior Director Manajemen Produk Microsoft Albert Penello,

“We may have been right. What we were wrong about was that it’s just too soon. People just weren’t ready to make that leap right away.”

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pada Februari 2015 pengguna platform Steam milik Valve telah mencapai angka 125 juta orang, dengan 8,9 juta maksimum pengguna aktif bersamaan. Sekarang, walau Valve belum mengeluarkan pernyataan baru mengenai jumlah total pengguna, jumlah maksimum pengguna aktif bersamaannya kini sempat menembus angka 13,48 juta orang. Mengalami kenaikan sampai 51 persen. Kalau kita ubah menjadi jumlah pengguna total, bisa jadi pengguna Steam sekarang telah mencapai 18,87 juta orang.

Steam Concurrent User 2016 Statista
Jumlah maksimum pengguna aktif bersamaan Steam per bulan 2016. Sumber: http://www.statista.com/statistics/308330/number-stream-users/

Kenapa saya pilih Steam sebagai patokan? Sederhana saja.

1. Mereka merupakan platform digital. Semua game yang terdaftar di Steam adalah game digital dan bahkan akhir-akhir ini, game fisik pun tetap membutuhkan Steam untuk menjalankannya.

2. Mereka merupakan platform digital terbesar. Semua penerbit dan/atau pengembang game tentunya ingin mengusung jumlah pengguna aktif selayaknya Steam. Dan utamanya, banyak gamer PC yang menggunakan platform ini, sehingga mudah untuk mendapatkan data-data kasar pengguna perangkat keras atau OS yang spesifik.

3. Yang tidak kalah penting: Steam juga perlu check-in online agar kamu bisa menggunakan “Offline Mode”.

Ya, kamu harus login ke server Steam setidaknya dua minggu sekali agar mode offline bisa selalu digunakan (atau mengutak-ngatik tanggal di komputer). Sistem ini memang jauh lebih longgar dibanding versi awal Xbox One, tapi sistem digital rights management serupa masih berjalan, dan untuk masuk ke mode tersebut kamu juga harus melakukannya saat sedang online.

Memang, sejauh ini omongan saya terdengar seperti “fear-mongering”, menakut-nakuti orang kalau Microsoft akan kembali ke jalan “anti-konsumen” lagi. Namun bukan itu maksud dari artikel ini. Saya hanya melihat konsistensi dan membandingkan strategi awal Microsoft dan Xbox One dengan strategi terbaru mereka. Ditambah dengan integrasi Windows 10 dan API baru DirectX12, mereka jadi memiliki lebih banyak pengaruh untuk mendorong distribusi digital.

Sejauh ini, hal yang disayangkan dalam fitur cross-everything ini adalah kekhususannya untuk kopi digital, dan nampaknya tidak semua game keluaran Microsoft akan mendukung layanan ini. Melalui Wayback Machine, kita bisa melihat pernyataan dari Wakil Presiden Grup Windows dan Perangkat Microsoft Yusuf Mehdi,

With the Xbox Play Anywhere program, you can buy a game once and play on your Windows 10 PC and Xbox One with shared progress, shared game saves and shared achievements. Every new title published from Microsoft Studios will support Xbox Play Anywhere and will be easily accessible in the Windows Store.

Sementara itu, kalau kamu membuka postingan Microsoft Blog yang sama sekarang ini, terlihat bahwa Microsoft secara diam-diam telah “merevisi” posisinya mengenai Xbox Play Anywhere:

With the Xbox Play Anywhere program, you can buy a game once and play on your Windows 10 PC and Xbox One with shared progress, shared game saves and shared achievements. Every new title published from Microsoft Studios that we showed onstage at E3 this year will support Xbox Play Anywhere and will be easily accessible in the Windows Store.

Dan berbicara soal sesuatu yang disayangkan, saya juga agak was-was apabila nantinya mereka akan mewajibkan berlangganan Xbox Live Gold untuk membuka layanan ini. Sudah ada pernyataan kalau mereka tidak akan menyembunyikan layanan Xbox Play Anywhere di balik tembok berlangganan, namun mengingat sekarang Microsoft lebih memilih untuk memamerkan angka pelanggan Xbox Live sebagai indikator kesuksesan Xbox, mereka mungkin perlu fitur ekstra untuk terus menjaga dan meningkatkan jumlah tersebut.

Layanan Xbox Play Anywhere dijanjikan akan mulai berjalan pada tanggal 13 September 2016 mendatang. Kamu bisa melihat daftar game-game yang mendukung layanan tersebut di www.xboxplayanywhere.com.

https://i0.wp.com/stoplayingame.com/wp-content/uploads/2016/07/playanywhere.jpg?fit=150%2C150&ssl=1https://i0.wp.com/stoplayingame.com/wp-content/uploads/2016/07/playanywhere.jpg?resize=150%2C150&ssl=1Unit076EditorialMicrosoftPCVideo Game Newscross-platform,DRM,MicrosoftPada ajang Electronic Entertainment Expo (E3) 2016 kemarin, bisa dibilang Microsoft dan divisi Xbox berhasil menarik perhatian massa dengan memamerkan cuplikan dua senjata rahasianya, Project Scorpio serta fitur cross-everything antara Xbox One dan Windows 10 yang diberi nama Xbox Play Anywhere. Media pun lebih memilih membicarakan dan berspekulasi tentang Project...and get a life!